Bertuhan Melalui Puisi : Belajar dari Kelingkingnya Penyair Adhy Rical

Oleh : Takzim Syaiful Alim

Teks Puisi : Kelingking

doaku kecil saja
lima belas ayat lima jari

bukan empu jari memuji
atau telunjuk kau tunduk
bukan tengah pemenang laga
atau pemanis lemari harta

aku kelingking saja
berdenyut di hidungmu

Adhy Rical
Konawe, 2009

Kaji Puisi : Bertuhan Melalui Puisi : Belajar dari Kelingkingnya Penyair Adhy Rical

 

“ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah tuhan”

Inilah hujah atau dalil universal tentang keberadan tuhan dan perwujudanNya. Kemisteriusan tuhan adalah sebuah kabar baik dan buruk dari langit. Di mana manusia sebagai hambaNya berusaha menemukan tuhan untuk diajak dialog dan menumpahkan ratap juga harap. Namun di sisi yang lain, manusia ada yang acuh dan menjauhi tuhan karena adanya proses pencarian yang melelahkan itu. inilah dampak positif dan negatif dari kemisteriusan tuhan itu.

Tuhan tidak membiarkan sang pencari itu tanpa arah dan hidayah. Tuhan memberikan kemudahan proses pencarian dengan bertajali ( penampakan, cerminan, perwujudan, atau manifestasi ) ke dalam diri makhlukNya. Tuhan bisa bersemayam di alam, benda dan manusia.

Adalah Ibnu Arabi ( 560-638 H/1164-1240 M ) yang mengenalkan konsep ‘tajali tuhan’ itu. Di dalam kitab ‘fushulul hikam’ ( mutiara-mutiara hikmah ), ibnu arabi berkesimpulan bahwa perempuan adalah tajali tuhan paling sempurna. Karena di diri perempuan ada dua energi, yaitu energi reseptive ( munfa’il ) dan energi creatif ( fa’il ). Jika kita mengarungi kedua energi ini, maka kita akan mendapatkan keyakinan ( al-ma’rifah al-yaqiniyyah ) dan ilmu rasa ( al-ma’rifah al-dzauqiyah ).

Menjumpai tuhan melalui perempuan atau bertuhan melalui perempuan adalah konsep yang ditawarkan Ibnu Arabi. Konsep ini adalah gerak penghargaan tertinggi kepada makhluk yang bernama perempuan. Perempuan dengan segala pesona keindahannya memancarkan kemilau cahaya penerang jagad raya. Seolah-olah tuhan berfirman, kejarlah Aku seperti kau mengejar perempuanmu.

Bertolak dari gerak konsep Ibnu Arabi itu, maka saya berani menawarkan bertuhan melalui Puisi. Puisi itu mahkluk tuhan. Dan tuhan bermanifestasi ke diri dan duri Puisi. Sebuah kebetulan atau kemurahan tuhan kepadaku, tuhan menurunkan firman selain kitab suci kepada jemari penyair Adhy Rical. Firman itu mewujud puisi dengan judul ‘Kelingking’. Dari puisi ‘Kelingking’ lah konsep bertuhan yang saya tawarkan itu mendapatkan pijakannya yang kokoh.

Dunia ini terbentuk dari kata-kata. apa-apa yang difirmankan Tuhan adalah puisi. dan kini puisi mencari Tuhannya. Tuhan yang remang dalam bayang-bayang wajah kehidupan manusia maupun Tuhan yang terang dan sembunyi di kitab suci.

penyair selalu bimbang dan terus gamang jika dihadapkan dengan ‘tuhan’ atau ‘atas nama tuhan’. maka ia berusaha berlari dan sembunyi di gua pusi, dengan harapan semoga tuhan menghampiri. tapi itulah tuhan, semakin kita menjebak, semakin dia mengelak untuk hadir.

kebanyakan manusia mencari tuhan di kitab suci. dan itu syah-syah saja. tapi bagi saya, sulit menemukan tuhan di kitab suci, meski itu adalah tanda keberedaanNya. kitab suci itu telah terkunci. sementara para penafsir dan kitab-kitab tafsir mereka hanya berbicara tentang apa-apa yang diinginkan dan subjektif sifatnya. kita malah semakin tidak menemukan tuhan. karena tuhan sudah dibonsai oleh para penafsir itu. Pemikir muslim Muhammad Abduh mewanti-wanti supaya berhati-hati membaca buku-buku tafsir, karena buku-buku tafsir itu ditulis dengan maksud tertentu. Maka beliau menganjurkan kepada ummat untuk membentuk tafsir sendiri yang sesuai dengan konteks zaman yang terus tumbuh dan berkembang.

Jalan bertuhan melalui Puisi adalah kegelisahan. Maka sang pencari tuhan melalui jalan ini senantiasa berdoa, “ya tuhan, tambahkanlah aku kegelisahan” bukan ”ya tuhan, tambahkanlah aku keyakinan”. Pencarian tak kan berhenti jika dirundung kegelisahan. Dan sebaliknya keyakinan itu justru semakin membikin lemahnya ranah rasa sang pencari tuhan. Karena menganggap telah finish dan sudah menggapai puncak gunung tertinggi.

dengan puisi, manusia dibikin terus resah, menanyakan apa yang tersembunyi di balik kejadian semesta.
dengan puisi, penyair dibikin terus berdesir rasanya, menikmati, mengamati dan mengendapkan gejala alam, juga gejolak dalam dirinya sendiri.

: siapa aku?

bayi-bayi puisi berlahiran dari jemari penyair dan mengalir di muka bumi, tapi tuhan yang diselimuti kebenaran juga tak kunjung ditemui. puisi menjadi misteri. ia tak terdefinisi, seperti tuhan itu sendiri.

ketika nitszche berkata “tuhan telah mati”, bagiku dia itu sedang gelisah dan ingin bertemu dengan tuhan.

kesimpulan bahwa tuhan telah mati adalah sebuah proses pencarian yang akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru. kesimpulan yang bisa jadi bertolak belakang dari kesimpulan sebelumnya.

puisi dengan segala misteri dan kekompleksannya menghamparkan jalan setapak berduri. duri-duri itu selalu mengincar diri kita, dan jika kita tidak siap dan sigap, kita akan tertusuk dan membusuk di perjalanan menujuNya.

itulah jalan pencari tuhan melalui puisi. justru di sinilah letak keasyikan pencarian itu. pencarian yang berdarah-darah, terseok-seok, menahan luka di sekujur tubuh.

: kalaupun pada akhirnya tak menemukan tuhan, kita sudah merasakan manifestasi-manifestasi tuhan. manifestasi yang mewujud dalam puisi. Oh tuhan oh puisi di mana kalian berdua berada? Bibirku ingin bersujud di bibir kalian berdua.

 

Weleh-weleh…kata pengantarku begitu lebar melar. Kini tiba waktunya mencari dan bertuhan melalui Puisi.
“doaku kecil saja”

Doa yang bermakna meminta adalah laku makhluk yang butuh sesuatu. Ditilik dari relasi peminta dan pemberi ini maka posisi peminta itu lemah. Ibarat juragan dengan buruh atau majikan dengan pembantu atau juga pemimpin dengan pegawai.

Lalu siapa si peminta dan si pemberi dalam larik “doaku kecil saja” ?
kedekatan apakah yang mengikat hubungan keduanya?

Saya yakin bahwa si peminta yang berdoa adalah kelingking. Sang penyair telah membuka pintu sajaknya dengan judul kelingking. Dan saya sebagai pembaca dengan mudah menangkap ke arah mana ayunan judul ini melangkah.

Kenapa kelingking? Kenapa tidak ibu jari, telunjuk, tengah atau jari manis?

Kelingking yang merupakan bagian dari jari tangan memiliki filosofi tersendiri yang berbeda dengan keempat jari lainnya. Kelingking adalah simbol atau lambang kelemahan dan ketidakberdayaan. Sungguh tepat letak kelingking di pinggiran jari tangan.

Betapa gemilangnya larik penyair Adhy Rical ini. sang penyair telah meletakkan hakekat sesuatu pada tempatnya yang tepat. Kelingking yang di pinggir dan lemah disepadankan dengan peminta atau pendoa.

“doaku kecil saja”

Doa ( pinta ) ku ( si aku lirik atau kelingking ) kecil ( sederhana, biasa, remeh ) saja ( sungguh, sebagai kata penegas permintaan )

Kepada siapa si aku lirik atau kelingking meminta? Tentu bukan kepada juragan atau pemimpin perusahaan. Dari pertanyaan ini mulai terkuak siapa yang dituju oleh si aku lirik, yakni Dia yang transenden. Dia yang maha mencipta.

: tuhan telah menjadi pemberi dan pengabul doa atau permohonan

“lima belas ayat lima jari”

Pada larik cantik ini saya diam. Merenung dalam-dalam. Menghirup udara alam malam. Dada terasa digedor-gedor kekuatan aneh. Saya kagum dan sujud kepada Penyair Adhy Rical. Betapa dia telah membawaku pada danau bening filsafat angka-angka.

Lalu saya mengamati jari-jari tangan pemberian tuhan ini. puji syukur sempurna. Angka lima belas menggores kesadaranku yang telah lama rusuh dan lusuh oleh debu-debu khianat. Dari manakah sang penyair mengambil angka lima belas dari jari-jari tangan? saya posisikan jari-jari tangan kanan tepat di mata. Aha, saya mendapat jawab:

5 jari
15 ruas…?

Setiap jari memiliki 3 ruas dikali 5 hasilnya 15

Kenapa tidak 10 jari?
Dan 30 ruas?

Saya menduga penyair Adhy Rical menjelma filsuf ketika menulis sajak ini. saya dibuatnya pusing menyingkap isyarat angka-angka itu.

Kenapa tidak 10 jari?
Dan 30 ruas?

Untuk menjawab soal musykil ini saya menariknya ke dalam ragam berdzikir seorang hamba kepada tuhannya:

1. menggunakan bantuan alat berupa tasbih
2. tanpa bantuan alat buatan manusia, yakni menggunakan fasilitas jari

Sudah menjadi kebiasaan orang berdzikir bahwa hanya jari tangan kanan yang digunakan untuk menghitung jumlah dzikir yang dilafadzkan. Ibu jari bergerak rancak ke ruas-ruas jari. Setiap jari memiliki tiga ruas.

Doa apakah yang dilantunkan kepada setiap ruas jemari itu?

Ruas satu : Subhanalloh ( maha suci tuhan )
Ruas dua : Alhamdulillah ( segala puji hanya kepada tuhan )
Ruas tiga : Allohu Akbar ( tuhan maha besar )

Detak jantungku berdegup kencang. Seolah darah mengalir deras sampai kepala. Alangkah hebat dan kontlempatif larik sajak penyair Adhy Rical ini.

“doaku kecil saja
lima belas ayat lima jari”

Sebenarnya saya ingin membahas panjang lebar doa dalam tiga ruas itu di sini, tapi saya kira bukan pada tempatnya, saya tidak ingin jadi kiai di esai sederhana ini, nanti saja jika sudah pulang kampung jadi kiai he he. Ibu, aku merindumu. Aku menggigil memanggil-manggil namamu. Anakmu yang merantau jauh ini melepuh tersengat api rindu. Kukenang jemarimu mengayun-ngayunkan dzikir berdoa buat keselamatan dan kesuksesanku.

“aku kelingking saja
berdenyut di hidungmu”

Inilah ending sajak yang membuat bulu kudukku merinding. Si aku lirik yang pada larik pembuka begitu santun dan kalem, tiba-tiba menetak kesadaran manusia, yang diwakili oleh si hidung itu.

“aku kelingking saja
berdenyut di hidungmu”

Denyut adalah pertanda kehidupan. Sebuah doa sederhana yang melebur jadi pengkudusan itu melahirkan nafas-nafas keberlangsungan. Denyut itu simbolik makna. Si aku lirik merasa hidup di pegunungan, dengan hawa sejuk dan kicau beburung di reranting pohon.

 

Bagiku penyair itu layak seorang nabi. Dia menjadi jembatan manusia menuju muara hakekat. Dia menjadi tangga menggapai bintang rembulan di langit. Dia menjadi lentera penerang ruang gelap gulita.

Penyair begitu sabar menanti atau mencari ilham. Termenung berpeluk kesunyian. seorang penyair membutuhkan suasana yang steril dan higienis dari kuman-kuman, polusi-polusi, tumpukan sampah busuk dan hiruk pikuk kebisingan kota. Kesemua itu dapat mencemari, meracuni bayi-bayi karya yang akan ditetaskan-dilahirkan. Bahkan dapat mudahnya terjangkiti penyakit hingga menjemput kematian. Kenapa para penyair mencintai keheningan dan menyetubuhi alam? Karena dalam hening alam itu urat, indra dan syaraf dapat mencecap, menyerap dan menyergap dengan cepat sabda alam; desau angin, luruh daun jatuh, ranting patah, kicau burung, gemericik air, kecipak ikan, cahaya yang berenang di pori-pori daun, dentuman ombak, geliat ulat tersengat matahari. Mungkin tersebab itu para Nabi dan rasul berkholwah (menjauh) dari manusia dalam proses semedi dan penyucian diri serta menerima ilham atau wahyu ilahi. Misalnya saja Nabi Muhammad Saw. Beliau diasuh dan dibesarkan di daerah jauh dari hiruk pikuk kota, kampung Baduy.

Wahai Pembaca, sengaja saya tidak memberi kesimpulan pada esai sederhana ini tentang konsep bertuhan melalui puisi, tapi saya yakin Pembaca sudah tahu ke arah mana bandul kata saya mengayun.

Karena semua harus ada ujung, maka saya ucapkan selamat dan salut kepada penyairku, Adhy Rical, jangan berhenti merangkai butir-butir kegelisahan, menjadi tasbih-tasbih penghambaan kepada Dia yang Maha Desir. Mungkin sebait syair Kahlil Gibran ini menjadi semacam pengukuh jalanmu dan jalanku meniti lekak lekuk tuhan melalui puisi.

Penyair

Dia adalah rantai penghubung
Antara dunia ini dan dunia akan datang
Kolam air manis buat jiwa-jiwa kerontang
Dia adalah sebatang pohon
Di lembah sungai kehidupan
Memikul bebuah ranum
Bagi hati lapar yang mencari.

( saya terjemahkan dari kumpulan sajak Kahlil Gibran, berbahasa arab, ‘Dam’ah wa Ibtisamah’ – Setetes Airmata dan Seulas Senyuman )

Related posts