Reproduksi Kebudayaan TOLAKI

Oleh: Idaman

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa S2 Kajian Budaya Universitas Haluoelo berkesempatan ke rumah saya dengan maksud meminjam buku Kebudayaan Tolaki karya Prof. Abdurrauf Tarimana untuk difoto Copy. Sang mahasiswa memberi informasi kepada saya bahwa buku Prof. Rauf tidak lagi ditemukan, atau tepatnya dia tidak menemukannya, di toko-toko buku yang tidak seberapa banyak, termasuk di TB. Gramedia, yang ada di seputaran Kendari. Saya lalu mengatakan, bahwa buku bersampul merah dengan ilustrasi ‘batik’ Tolaki sudah sangat langka dan pasti tidak akan diketemukan di toko buku manapun di negeri ini, apalagi di Kendari.

Seminggu yang lalu, malam, tiga orang kawan, yang setahu saya, sedang menempuh pendidikan S3 di beberapa PT ternama di Tanah Jawa, juga mengunjungi kediaman saya. Ditemani secangkir kopi, kami terlibat dalam diskusi, tentu dengan durasi yang cukup singkat, soal kebudayaan Tolaki dan kaitannya dengan kebudayaan etnis lain yang ada di Sulawesi Tenggara, serta perlunya membentuk wadah yang konsen dan intens dengan studi-studi kebudayaan tolaki dan kebudayaan lain di Sulawesi Tenggara.

Salah seorang kawan, yang sedang menempuh S3 di Universitas Udayana meminjam sebuah buku yang sudah cukup klasik, Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara karya rembukan Prof. Tarimana dan kawan-kawan. Salah seorang kawan yang sedang mnempuh pendidikan S3 di Universitas Gadjah Mada, dengan mimik serius, mengajukan sebuah tawaran prestisius, yakni mendirikan Yayasan kebudayaan Tolaki.

Dua peristiwa tersebut menyisakan pertanyaan, yang juga sekaligus kegelisahan nyaris semua peminat studi-studi kebudayaan Tolaki. Masih menarikkah studi Kebudayaan Tolaki? Apakah karya Prof.Rauf Tarimana sudah cukup representatif dan final mendeskripsikan bangunan kebudayaan Tolaki? Lalu apa selanjutnya pasca era dan karya-karya Prof. Tarimana? Jawaban atas pertanyaan dan kegelisahan tersebut perlu diawali dengan perenungan yang mendalam dan merefleksikan masa lalu dan masa sekarang berkaitan dengan kebudayaan Tolaki, lalu menemukan langkah-langkah strategis merevitalisasi kebudayaan Tolaki ke dalam bentuk kajian ilmiah dan akademis, publikasi, dan sebagainya.

Cikal Bakal
dibawah arahan Prof. Koentjaraningrat, salah seorang mahasiswa program Doktor antropologi Universitas Indonesia berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Kalosara sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki: Sebuah Asas Klasifikasi Simbolik, Studi di Kabupaten kendari dan Kolaka Sulawesi Tenggara’. Delapan tahun kemudian, atau tepatnya pada 1993, disertasinya kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul ‘Kebudayaan Tolaki’. Putra kelahiran Pehanggo ini bernama Abdurrauf Tarimana, yang kemudian kelak memperoleh gelar Professor bidang Antropologi dan pernah menjadi rektor Universitas Haluoleo, Kendari.

Dapat dipastikan, bahwa karya masterpiece Prof. Abdurrauf Tarimana mendapat apresiasi dari khalayak, paling tidak, oleh masyarakat Tolaki dan penikmat serta pengkaji kebudayaan Tolaki. Hal ini, misalnya, terbukti ketika orang Tolaki bicara kebudayaannya, kerapkali mereka mengutip buku monumental ini. para mahasiswa baik pada level S1, S2 maupun S3 yang secara khusus mengkaji beberapa aspek kebudayaan Tolaki biasanya merujuk kepada buku ini, meski mungkin, dalam banyak kasus, beberapa orang tidak pernah melihat langsung buku tersebut. Satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa buku ‘kebudayaan Tolaki’ telah menjadi rujukan utama, sumber dari segala sumber menyangkut kebudayaan Tolaki.

Pada tahun-tahun awal bahkan era tahun 1990-an hingga awal-awal tahun 2000-an, nyaris tidak diketemukan karya yang mengulas kebudayaan Tolaki sekomplit karya Prof. Rauf. Hal ini memperlihatkan, bahwa betapa minimnya rujukan-rujukan atau sumber-sumber tertulis, dalam bahasa Indonesia, tentang kebudayaan Tolaki. Karena itu, sangat patut jika dianggap bahwa karya Prof. Rauf adalah cikal bakal atau embrio gegap gempita pengkajian kebudayaan Tolaki.

Apresiasi positif dan mendalam perlu dilakukan oleh masyarakat pengkaji kebudayaan Tolaki dalam bentuk, antara lain, melanjutkan langkah-langkah prestisius yang telah dilakukan oleh sang Professor. Selain itu, perlu memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada upaya-upaya serius Prof. Rauf di dalam menjaga kesinambungan atau regenerasi pengkajian kebudayaan Tolaki, baik oleh masyarakat Tolaki secara umum, para intelektual Tolaki, maupun pemerintah daerah.

Siapa Selanjutnya?
Beberapa tahun belakangan ini, animo masyarakat Tolaki pada umumnya terhadap kebudayaanya sedang berada pada era euphoria. Euphoria kebudayaan Tolaki atau kembali memunculkan kebudayaan Tolaki pada masyarakat Tolaki memperlihakan betapa pentingnya dan berartinya menjadikan budaya (baca: nilai) sebagai sandaran kehidupan sehari-hari. Sejak era Prof. Rauf Tarimana, beberapa tahun lalu, para tokoh adat, tokoh masyarakat, kaum intelektual dan masyarakat Tolaki merasa perlu membuat wadah yang, awalnya, disebut LATKOM dan saat ini menjadi wadah LAT.

Sekelompok kecil anak muda yang memiliki minat dan perhatian serius terhadap pelestarian kebudayaan Tolaki merasa perlu membuat sebuah wadah yang bernama Konsorsium Budaya Tolaki atau biasa disingkat KOMUTO. Bahkan, seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya jejaring social yang sedang Booming, sekelompok anak muda kreatif merasa perlu membuat grup Facebook, misalnya, Saya Cinta Bahasa Tolaki (SCBT), Pusat Studi Budaya Tolaki (PSBT), dan sebagainya.

Peristiwa ini sedang memperlihatkan sebuah euforia dan gegap gempita untuk kembali ke asal (back to nature), kembali kepada kebudayaan Tolaki. Semua elemen masyarakat Tolaki sedang berarak kembali kepada kebudayaannya dan menyadari bahwa budaya Tolaki perlu dan ‘wajib’ menjadi sandaran, pedoman, dan bagian dari keseluruhan aktivitas orang Tolaki baik pada level pendidikan, politik, ekonomi, sosial, keluarga, teknologi, agama, dan sebagainya.

Minat untuk terus menggali budaya Tolaki nampaknya semakin menemukan momentumnya belakangan ini. setelah era kepenulisan Prof. Rauf, kini mulai bermunculan kaum intelektual muda dan energik yang melanjutkan ‘estafet’ studi kebudayaan yang pernah dilakukan di era Prof. Rauf. Basrin Melamba, peraih gelar M.A dalam ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada, dapat disebut sebagai intelektual muda yang brilian setelah menerbitkan sejumlah karya, antara lain, ‘Sejarah Tolaki di Konawe’, ‘Kota Lama Kota Baru Kendari: Kajian Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi’, ‘Sejarah Peradaban Mekongga’,’Arsitektur Tradisional rumah Adat Tolaki’.

Fenomena Basrin dengan karya-karya kesejarahannya merupakan sebuah bukti bahwa kajian kesejarahan Tolaki masih sangat menarik. Hal lain yang patut dicatat, bahwa karya Basrin telah melempangkan jalan bagi pengkajian sejarah Tolaki saat ini dan di masa datang.

Beberapa anak muda lain, Erens Elvianus Koodoh (mahasiswa S3 Antroologi UGM), Abdul Alim (mahasiswa S3 Kajian Tradisi Lisan Udayana), dan Baharuddin, telah memberi sumbangsih dalam pengkajian hukum adat Tolaki melalui karya mereka, ‘Hukum Adat Orang Tolaki’. Karya ini, bagi saya, memiliki nilai lebih dibandingkan karya-karya lain yang tidak secara komplit mengulas beberapa aspek hukum adat orang Tolaki.

Buku yang diterbitkan oleh penerbit Teras, Yogyakarta ini memiliki kelebihan dari cakupan kajiannya yang luas. Jika selama ini, kita hanya mengenal perkawinan adat Tolaki sebagai salah satu aspek dalam kajian hukum adat Tolaki, ternyata dalam karya mereka banyak hal lain yang diungkap, antara lain, hukum adat penyelesaian konflik (sara Ine Teposala’a/Sisala’a), Hukum Adat pertanahan (Sara Ine Wuta), Hukum Adat Pewarisan (Sara Ine Petiari’a), dan Hukum adat Perburuhan.

Gegap gempita kajian sejarah dan budaya Tolaki akhir-akhir ini memperlihatkan sebuah upaya menempatkan kembali budaya Tolaki sebagai sesuatu yang sangat vital. Jika dilihat dari satu sudut pandang yang pasti, keinginan sejumlah besar masyarakat Tolaki untuk mengembalikan peran budaya dalam kehidupan mereka dapat dipandang positif sejauh hal itu bisa meretas sekat-sekat dan ancaman eksklusivitas.

Upaya beberapa intelektual muda dan beberapa tokoh adat Tolaki memproduksi kembali kebudayaan mereka dalam konteks masa kini merupakan efek langsung dari otonomi daerah. di beberapa daerah, upaya-upaya serius untuk mengangkat kembali kebudayaan telah dilakukan. Reproduksi nilai-nilai tradisional atau kebudayaan pada masing-masing daerah mengalami peningkatan.

Paling tidak, seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, beberapa daerah secara perlahan mulai mengangkat kembali kebudayaan daerah sebagai salah satu landasan pembangunan. Bahkan jauh sebelumnya, beberapa daerah telah menjadikan nilai-nilai kebudayaannya sebagai bagian dalam proses pembangunan ekonomi, politik, dan pendidikan. Bahkan paling prestisius, beberapa komunitas lokal mulai mereproduksi kembali nilai-nilai budaya yang dianut untuk menyelesaikan permasalahan di lingkungan mereka.

Hampir semua struktur masyarakat adat nusantara telah memiliki perangkat yang bisa dijadikan landasan dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut kehidupan mereka, misalnya, sengketa tanah. Hingga saat ini, beberapa komunitas mementaskan kembali—re-enactment, meminjam istilah filsuf sejarah, Collingwood atau menampilkan kembali peran dan fungsi kearifan lokal yang mereka miliki untuk menyelesaikan segala macam konflik yang timbul dalam masyarakat mereka, termasuk dalam hal konflik pertanahan.

Tulisan Meribeth Herb (2010: 269-300), tentang penggunaan kearifan lokal dalam masyarakat Manggarai, Flores dalam menyelesaikan sengketa tanah, cukup representatif menampilkan upaya salah satu kelompok masyarakat adat di nusantara di dalam mereproduksi kearifan lokal yang mereka miliki. Dalam kasus masyarakat adat di Sulawesi Tengah, Li (2010: 367-405) mengemukakan bahwa pada masa orde baru dan pasca orde baru, komunitas adat ini mencoba mereproduksi kembali kearifan lokal yang dimiliki untuk menentukan batas-batas teritorial tanah adat, khususnya di lokasi pembangunan bendungan Lore Lindu.

Hal senada yang kini dilakukan oleh kaum intelektual, masyarakat dan tokoh adat Tolaki. Kalo, yang bagi Rauf Tarimana dipandang sebagai fokus keseluruhan kehidupan orang tolaki, direproduksi kembali dan dianggap bisa menyelesaikan semua permasalahan orang tolaki.

Sebuah Refleksi
Idealnya, Kearifan lokal (local wisdom) yang direproduksi kembali diharapkan dapat memperkuat basis pembangunan daerah. Dalam konteks tertentu, reproduksi kebudayaan lokal atau kearifan lokal dilakukan dalam rangka memperkuat kembali identitas etnis tertentu dalam penghadapannya dengan etnis lain atau lingkungan sosial budaya yang baru (Abdullah, 2010).

Pada tataran tertentu, menurut hemat penulis, reproduksi dan reaktualisasi kebudayaan pada etnis tertentu dapat dipandang negatif ketika kebudayaan tersebut mendislokasi kebudayaan etnik lain yang ada didaerah tersebut, yang pada gilirannya mempersempit ruang-ruang komunikasi sosial antar-etnis. Pada saat berlainan, kondisi ini dapat dipandang positif sejauh reproduksi dan reaktulisasi kebudayaan membuka ruang bagi reinterpretasi baru untuk tujuan-tujuan pembangunan daerah ke arah yang lebih baik.

Atas dasar hal tersebut, kebudayaan yang merupakan ‘pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis’ serta merupakan ‘sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan’ (Geertz, 1973: 89), seyogyanya diarahkan dalam konteks pembentukan mentalitas pembangunan yang positif untuk kemajuan daerah, bukan dalam konteks mempersempit ruang-ruang komunikasi terhadap etnis lain. Kebudayaan dengan demikian harus lebih terbuka terhadap kemungkinan adanya reinterpretasi baru untuk kepentingan pembangunan nasional dan daerah.

Dengan demikian, studi tentang kebudayaan Tolaki masih tetap memukau dan memikat sejauh diarahkan untuk kepentingan pembangunan daerah, membuka keran inklusivitas dan kerjasama antar-budaya. Hal terpenting, menghadirkan kembali kebudayaan Tolaki dalam kajian-kajian akademis dan dalam keseluruhan aktivitas kehidupan masyarakat Tolaki tidak boleh mengabaikan fakta bahwa kita sedang di era modern, ketika semua kebudayaan dihadapkan pada gelombang modernitas.

Pada sisi ini, kita, kaum intelektual, tokoh adat, dan masyarakat Tolaki diperhadapkan pada pilihan antara mengabaikan modernitas, dalam arti tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional, atau justeru menyesuaikan diri dengan modernitas itu sendiri. Saya kira, ‘menjaga tradisi lama yang baik dan pada saat bersamaan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik’ bisa menjadi preferensi untuk tetap menjaga keberlanjutan kebudayaan Tolaki, saat ini dan di masa-masa yang akan datang.

*Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari, Direktur Sangia Institute, dan saat ini sebagai Mahasiswa S3 Ilmu Filsafat, UGM Yogyakarta.

Related posts